Laman

Rabu, 30 September 2015

Sebuah Pencerahan Dari Raditya Dika

“Menulis”, entah sejak kapan gue menulis, seingat gue saat itu gue cuman menatap mata seorang cewek lalu bermunculan rangkaian kata-kata indah di kepala gue yang enggak bisa gue ungkapkan dengan lisan, hanya bisa tertuang lewat tulisan. Sejak saat itu otak gue berubah menjadi rahim, mengandung miliaran huruf, jutaan kata, ribuan kalimat yang siap gue lahirkan, entah itu jadi puisi, pantun, materi standup comedy, atau tulisan enggak jelas kayak gini.
Secara teknis gue enggak menulis, lebih tepatnya mengetik, cuman gue sebut menulis karena apa yang gue ketik itu namanya “tulisan”. Apa yang gue tulis adalah keresahan, kegelisahan, terkadang pemikiran, atau sekedar bualan, apapun itu yang gue tulis selalu melalui proses, sebuah pemikiran tentang bagaimana dan seperti apa cara mengungkapkannya, pemilihan diksi yang tepat, bagaimana agar tulisannya menjadi menarik, bagaimana membuat pembaca merasa enggak puas kalau enggak baca tulisannya sampai habis (sekalipun enggak punya pembaca), bahkan penempatan titik (.) dan koma (,) pun menjadi suatu hal yang harus dipikirkan.
Jujur gue enggak ngerti bagaimana caranya menulis yang benar, menulis yang sesuai etika bahasa Indonesia, gue cuman menulis begitu aja apa yang pingin gue tulis. Gue juga enggak berharap tulisan gue ada yang membaca, sebab tujuan gue menulis bukan itu, walaupun sampai saat ini gue juga belum mengetahui apa tujuan gue menulis. Gue hanya menulis apa yang enggak bisa gue ungkapkan, ketika mata terlalu lelah untuk menangis, ketika lidah terlalu kaku untuk marah, gue menulis. Lalu gimana kalau gue bahagia ? Entahlah seperti apa mengekspresikan kebahagiaan, sebab gue belum tahu bahagia itu seperti apa, kadang orang menangis saat bahagia, kadang orang teriak, kadang orang tersenyum, hal itu membingungkan gue tentang arti kebahagiaan dan seperti apa menyikapinya, rasanya bila itu terjadi pada gue, mungkin gue enggak akan menulis, sepertinya kebahagiaan tak dapat terungkapkan lewat kata-kata.
Tapi ada juga kalanya gue enggak bisa menulis, ketika pikiran menyempit padahal nalar melayang jauh, lautan aksara terbendung dalam kegelisahan, hanya mengawang-awang di pikiran tak menjelma menjadi sebuah tulisan. Ketika itu terjadi akan banyak sobekan dari buku catatan gue, gumpalan-gumpalan kertas berisi coretan mengitari tempat di mana gue menulis, atau gue hanya memandangi layar kosong laptop gue, merenung di hadapan layar dengan pikiran yang kalut. Rasanya seperti menjadi zombie yang hidup tapi tak berjiwa, rasanya seperti pohon besar yang sudah mati, mengakar namun tak berdaun dan berbuah, seperti langkah tanpa jejak, cinta tapi tak dianggap.
Saat ini gue mengalaminya, di mana gue enggak bisa menuliskan apa-apa, meski jiwa berbalut jubah keresahan, biasanya jubah itu gue tanggalkan dengan tulisan, tapi rasanya seperti menyatu dengan kulit, menyatu dengan jiwa, menutupi mata hati, sehingga rasanya gelap melihat dunia, dan ketika dunia gelap, maka tak satu pun huruf yang dapat ku baca, tak sebatik pun kata yang dapat ku torehkan dengan pena, kecuali cahaya itu tiba, menyingkap gelap yang bersemayam membutakan jiwa. Cahaya itu adalah “CINTA”, sebab gue menulis dengannya.
Tapi setelah gue mengikuti beberapa buah event kreatif, gue pun seperti mendapat pencerahan, angin segar menepa gue, semangat menulis yang sudah lama padam pun kembali menyala. Event pertama yang gue ikuti adalah “Bapandiran Blog” talkshow dengan tema “personal blogger dan marketing blogger”, jadi itu adalah sebuah acara kopdar para blogger Banjarmasin yang dihadiri 2 orang blogger, yang pertama adalah Adittya Regas seorang penulis buku “Diary Anak Magang” yang mewakili personal blogger, yang kedua adalah Arif Fajar pengusaha bisnis online yang mewakili marketing blogger. Gue sih lebih “ngeh” ke personal bloggernya, karena gue juga personal blogger. Gue sih enggak ingat banyak apa yang gue dapat di event itu, tapi yang gue ingat, waktu sesi pertanyaan gue nanya ke Adittya Regas, “bagaimana caranya agar produktif dalam berkarya ?” lalu Adit menjawab katanya gue harus komit dalam menulis, memaksakan diri gue dalam satu hari itu gue harus menulis, entah itu status facebook tapi yang panjang, postingan blog seenggaknya harus terus ada, paling enggak seminggu sekali harus ada postingan, lalu Adit menutup jawabannya dengan sebuah kata-kata yang dia dapat dari Raditya Dika, dia bilang “tulisan kotor itu lebih baik, ketimbang tulisan kosong”. Jawaban dari Adittya Regas menjadi sebuah tamparan keras buat gue yang udah cukup lama membuat blog gue terbengkalai tanpa ada satu huruf pun yang gue posting. Jawaban dari Adit cuman memberi gue semangat kembali menulis, tapi tidak membuat gue menuliskan apapun, pikiran gue kacau saat memandangi layar laptop gue, dan akhirnya gue lebih memilih untuk memberikan diri gue waktu untuk menggali lebih dalam kegelisahan gue agar gue menemukan suatu hal yang bisa gue tuangkan.
Dan jawaban pun gue dapatkan saat minggu kemaren gue ikut sebuah event “Loop Kreatif Project”, di event itu ada GAC, Panji dan Raditya Dika. Awalnya gue ikut event itu cuman sekedar pingin seru-seruan, ya’ pingin ketemu Raditya Dika juga sih sebenarnya, buat minta tanda tangannya, soalnya blog ini ada karena gue terinspirasi oleh buku pertamanya Radit “Kambing Jantan” sebuah buku yang diangkat dari blognya sendiri yaitu kambingjantan.com, dan akhirnya setelah membaca buku itu gue pun juga tertarik untuk membuat blog, dan terciptalah blog zonasantri.blogspot.com ini. Kembali ke event tadi, sebelum ke event itu gue mampir sebentar di tempat fotocopy buat beli spidol, gue beli spidol ini buat minta tanda tangannya Raditya Dika. Saat gue nyampe di event itu, gue liat antrian panjang, gue pikir buat ikut ke eventnya harus registrasi dulu, jadi gue ikutan antri juga dong. Tapi ternyata itu adalah antrian buat ikut kelas coaching clinic dari bintang tamunya, ya’ gue milih ikutan kelas Raditya Dika dong. Saat giliran gue registrasi, gue tulis identitas diri gue, dan panitianya ngasih tiketnya ke gue, lalu dari mulut panitia itu gue dengar dia ngomong “wah tiket buat kelas Raditya Dika udah habis nih” dia bilang ke temannya yang ada di sebelahnya, gue yang mendengar hal itu merasa sangat beruntung, karena gue bisa mendapatkan tiket buat kelasnya Radit.
Gue pikir kelasnya Radit ini adalah kelas menulis, ternyata kelasnya adalah kelas digital video, kelas menulis dipegang sama Panji. Pikir gue bodoh amat ! Yang penting bisa minta tanda tangannya Raditya Dika. Saat berada di kelas enggak menunggu lama lalu Radit datang dengan disambut teriakan dan jeritan histeris cewek-cewek, saat Radit masuk gue sempat tercengang, bukan karena terpesona, tapi liat tampangnya Radit kayak orang baru bangun tidur, bahkan cewek yang duduk di belakang gue sampai ngomong “nih orang enggak mandi ya ?”. Sepanjang kelas berlangsung sangat meriah, apa aja yang keluar dari mulut Radit selalu disambut tawa yang riuh. Radit bilang cara untuk menjadi kreatif pertama “pola berpikir yang berbeda” maksudnya adalah kalau lo mau berkarya jangan membuat sebuah karya yang terbaik, sebab yang lebih baik dari lo banyak, buatlah karya yang berbeda. Yang kedua adalah menemukan pola tersembunyi, gue sih lupa maksudnya apa. Dan ketiga adalah hasrat untuk menciptakan sesuatu.

Lalu Radit menceritakan tentang kegelisahan, karena dia bilang ide itu berasal dari kegelisahan, dari kegelisahan itu membuat kita semakin menggali apa yang bisa kita tuangkan dan bisa kita kembangkan, misal kalo seorang cewek diputusin cowok lalu cewek tadi bertanya-tanya “kok dia mutusin gue ya ? Salah gue apa ya ? Kenapa ya dia sampai mutusin gue ?” itulah bentuk dari kegelisahan yang menggali sesuatu untuk dituangkan. Lalu Radit mulai menanyai orang-orang yang mengikuti kelasnya, dan sampai dia nanya ke salah satu cewek yang ada di samping kanan gue.
“Lo sekolah apa ?”
“SD”
“Hah ? Serius lo SD ?”
“Iya, serius”
“Kelas berapa ?”
“Kelas 6”
“Ok, kegelisahan lo di sekolah biasanya apa ?
“Tentang pacar kak”
“Buset ! SD udah ngomongin pacar” jawab Radit dengan nada lemes dan disambut tawa oleh orang-orang satu kelas, gue yang mendengarnya juga sedikit jelous, karena sampai sekarang gue masih jomblo, kalah sama anak SD.
Setelah itu Radit ngajarin gimana caranya bikin film, dari tata cahayanya, letak pengambilan gambarnya, ekspresinya harus seperti apa, sampai ditengah-tengah saat dia lagi memegangi handphonenya sebagai camera untuk menuinjukkan cara pengambilan gambar yang bagus seperti apa, Radit kemudian bilang “sampai sejauh ini ada yang ditanyakan ?”. Gue ngacungin tangan.
“Iya lo mau nanya apa ?” Radit mempersilahkan
Gue melontarkan sebuah pertanyaan yang sama saat gue tanyakan ke Adittya Regas di event sebelumnya.
“Cara produktif dalam berkarya ?” tanya gue dengan suara yang gemetar karena gugup.
“Beloooommmm ! Ini lagi bahas bikin video, malah gimana cara biar produktif” sahut Radit dengan nada kesal tapi lagi-lagi memancing tawa satu kelas dan gue malu enggak ketulungan.
Setelah Radit selesai menjelaskan hal-hal yang tadi, dia kembali ke gue dan meladeni pertanyaan gue tadi.
“Tadi lo yang nanya gimana caranya biar produktif ?”
Gue cuman ngangguk.
“Lo sekolah apa ?” tanya Radit
“Pesantren”
“Hah serius ?”
“Iya” sahut gue
“Batangan semua dong isinya” sahut Radit dengan santai yang diiringi tawa satu kelas
Terus dia bilang gue harus jujur dengan kegelisahan gue, apa yang menjadi kegelisahan gue di pesantren, ubah menjadi ide, lalu dipremise, lalu tuangkan menjadi sesuatu, entah itu tulisan atau film. Lalu Radit bilang “jangan takut memulai sebuah karya,apapun. Dalam diri lo ada buku yang menunggu untuk ditulis, ada lagu yang menunggu untuk dinyanyikan, dan ada film yang menunggu untuk dibuat” kali ini kata-kata Radit enggak dibalas dengan tawa, melainkan tepuk tangan yang meriah dari semua orang-orang yang mengikuti kelasnya Radit.
Kelas pun ditutup Radit dengan selfie bareng sama orang-orang seisi kelas. Di sela-sela Radit melakukan Selfie gue liat ada cewek yang minta tanda tanganin buku “cinta brontosaurus” ke Radit, melihat hal itu gue pun mencoba mendekati Radit buat minta tanda tangani buku gue juga, tapi belum sempat gue mendekati Radit, dia udah ngeloyor keluar dikawal dengan panitia-panitia event.
Sumber : instagram @raditya_dika
Melihat Radit yang udah cabut ke gedung dimana ada acara lain yang sudah menunggunya, gue pun langsung ngikutin dia. Gue ikutin Radit sampai ke backstage, sampai di depan ruangannya gue dihentikan oleh dua orang scurity yang menjaga ruangan itu. Gue pun menjauh, dan dari kejauhan gue liat pintu ruangan Radit terbuka, gue liat Radit lagi duduk santai dan enggak ngelakuin apa-apa. Pikir gue enggak ganggu kali kalo gue cuman minta tanda tangan doang, tapi sekali lagi gue males ngeladeni dua scurity tadi. Enggak lama gue berdiri deket ruangan Radit, dia pun keluar dengan dikawal oleh dua scurity tadi, melihat itu gue langsung memberanikan diri buat minta tanda tangan, dari semua buku Radit yang gue bawa saat itu ada Kambing Jantan, Cinta Brontosaurus, Radikus Makankakus, Babi Ngesot, Marmut Merah Jambu, Manusia Setengah Salmon dan Koala Kumal, saat itu gue ngambil asal hanya satu buku aja “Manusia Setengah Salmon”, lalu sambil minta tanda tangannya gue denger Radit juga nyanyi-nyanyi dengan pelan lagu “Kangen” dari Dewa19 mengiringi band pengisi acara yang membawakan lagu tersebut.
Setelah pulang ke rumah gue baru nyadar dan mikir kenapa dari semua buku yang gue bawa malah “Manusia Setengah Salmon” yang enggak sengaja gue ambil, gue ngerasa kalau ini adalah pertanda bahwa gue harus “pindah”, untuk terus menjadi lebih baik.