“Menulis”,
entah sejak kapan gue menulis, seingat gue saat itu gue cuman menatap
mata seorang cewek lalu bermunculan rangkaian kata-kata indah di
kepala gue yang enggak bisa gue ungkapkan dengan lisan, hanya bisa
tertuang lewat tulisan. Sejak saat itu otak gue berubah menjadi
rahim, mengandung miliaran huruf, jutaan kata, ribuan kalimat yang
siap gue lahirkan, entah itu jadi puisi, pantun, materi standup
comedy, atau tulisan enggak jelas kayak gini.
Secara teknis gue
enggak menulis, lebih tepatnya mengetik, cuman gue sebut menulis
karena apa yang gue ketik itu namanya “tulisan”. Apa yang gue
tulis adalah keresahan, kegelisahan, terkadang pemikiran, atau
sekedar bualan, apapun itu yang gue tulis selalu melalui proses,
sebuah pemikiran tentang bagaimana dan seperti apa cara
mengungkapkannya, pemilihan diksi yang tepat, bagaimana agar
tulisannya menjadi menarik, bagaimana membuat pembaca merasa enggak
puas kalau enggak baca tulisannya sampai habis (sekalipun enggak
punya pembaca), bahkan penempatan titik (.) dan koma (,) pun menjadi
suatu hal yang harus dipikirkan.
Jujur gue enggak
ngerti bagaimana caranya menulis yang benar, menulis yang sesuai
etika bahasa Indonesia, gue cuman menulis begitu aja apa yang pingin
gue tulis. Gue juga enggak berharap tulisan gue ada yang membaca,
sebab tujuan gue menulis bukan itu, walaupun sampai saat ini gue juga
belum mengetahui apa tujuan gue menulis. Gue hanya menulis apa yang
enggak bisa gue ungkapkan, ketika mata terlalu lelah untuk menangis,
ketika lidah terlalu kaku untuk marah, gue menulis. Lalu gimana
kalau gue bahagia ? Entahlah seperti apa mengekspresikan kebahagiaan,
sebab gue belum tahu bahagia itu seperti apa, kadang orang menangis
saat bahagia, kadang orang teriak, kadang orang tersenyum, hal itu
membingungkan gue tentang arti kebahagiaan dan seperti apa
menyikapinya, rasanya bila itu terjadi pada gue, mungkin gue enggak
akan menulis, sepertinya kebahagiaan tak dapat terungkapkan lewat
kata-kata.
Tapi ada juga
kalanya gue enggak bisa menulis, ketika pikiran menyempit padahal
nalar melayang jauh, lautan aksara terbendung dalam kegelisahan,
hanya mengawang-awang di pikiran tak menjelma menjadi sebuah tulisan.
Ketika itu terjadi akan banyak sobekan dari buku catatan gue,
gumpalan-gumpalan kertas berisi coretan mengitari tempat di mana gue
menulis, atau gue hanya memandangi layar kosong laptop gue, merenung
di hadapan layar dengan pikiran yang kalut. Rasanya seperti menjadi
zombie yang hidup tapi tak berjiwa, rasanya seperti pohon besar yang
sudah mati, mengakar namun tak berdaun dan berbuah, seperti langkah
tanpa jejak, cinta tapi tak dianggap.
Saat ini gue
mengalaminya, di mana gue enggak bisa menuliskan apa-apa, meski jiwa
berbalut jubah keresahan, biasanya jubah itu gue tanggalkan dengan
tulisan, tapi rasanya seperti menyatu dengan kulit, menyatu dengan
jiwa, menutupi mata hati, sehingga rasanya gelap melihat dunia, dan
ketika dunia gelap, maka tak satu pun huruf yang dapat ku baca, tak
sebatik pun kata yang dapat ku torehkan dengan pena, kecuali cahaya
itu tiba, menyingkap gelap yang bersemayam membutakan jiwa. Cahaya
itu adalah “CINTA”, sebab gue menulis dengannya.
Tapi setelah gue
mengikuti beberapa buah event kreatif, gue pun seperti mendapat
pencerahan, angin segar menepa gue, semangat menulis yang sudah lama
padam pun kembali menyala. Event pertama yang gue ikuti adalah
“Bapandiran Blog” talkshow dengan tema “personal blogger dan
marketing blogger”, jadi itu adalah sebuah acara kopdar para
blogger Banjarmasin yang dihadiri 2 orang blogger, yang pertama
adalah Adittya Regas seorang penulis buku “Diary Anak Magang”
yang mewakili personal blogger, yang kedua adalah Arif Fajar
pengusaha bisnis online yang mewakili marketing blogger. Gue sih
lebih “ngeh” ke personal bloggernya, karena gue juga personal
blogger. Gue sih enggak ingat banyak apa yang gue dapat di event itu,
tapi yang gue ingat, waktu sesi pertanyaan gue nanya ke Adittya
Regas, “bagaimana caranya agar produktif dalam berkarya ?” lalu
Adit menjawab katanya gue harus komit dalam menulis, memaksakan diri
gue dalam satu hari itu gue harus menulis, entah itu status facebook
tapi yang panjang, postingan blog seenggaknya harus terus ada, paling
enggak seminggu sekali harus ada postingan, lalu Adit menutup
jawabannya dengan sebuah kata-kata yang dia dapat dari Raditya Dika,
dia bilang “tulisan kotor itu lebih baik, ketimbang tulisan
kosong”. Jawaban dari Adittya Regas menjadi sebuah tamparan keras
buat gue yang udah cukup lama membuat blog gue terbengkalai tanpa ada
satu huruf pun yang gue posting. Jawaban dari Adit cuman memberi gue
semangat kembali menulis, tapi tidak membuat gue menuliskan apapun,
pikiran gue kacau saat memandangi layar laptop gue, dan akhirnya gue
lebih memilih untuk memberikan diri gue waktu untuk menggali lebih
dalam kegelisahan gue agar gue menemukan suatu hal yang bisa gue
tuangkan.
Dan jawaban pun
gue dapatkan saat minggu kemaren gue ikut sebuah event “Loop
Kreatif Project”, di event itu ada GAC, Panji dan Raditya Dika.
Awalnya gue ikut event itu cuman sekedar pingin seru-seruan, ya’
pingin ketemu Raditya Dika juga sih sebenarnya, buat minta tanda
tangannya, soalnya blog ini ada karena gue terinspirasi oleh buku
pertamanya Radit “Kambing Jantan” sebuah buku yang diangkat dari
blognya sendiri yaitu kambingjantan.com, dan akhirnya setelah membaca
buku itu gue pun juga tertarik untuk membuat blog, dan terciptalah
blog zonasantri.blogspot.com ini. Kembali ke event tadi, sebelum ke
event itu gue mampir sebentar di tempat fotocopy buat beli spidol,
gue beli spidol ini buat minta tanda tangannya Raditya Dika. Saat gue
nyampe di event itu, gue liat antrian panjang, gue pikir buat ikut ke
eventnya harus registrasi dulu, jadi gue ikutan antri juga dong. Tapi
ternyata itu adalah antrian buat ikut kelas coaching clinic dari
bintang tamunya, ya’ gue milih ikutan kelas Raditya Dika dong. Saat
giliran gue registrasi, gue tulis identitas diri gue, dan panitianya
ngasih tiketnya ke gue, lalu dari mulut panitia itu gue dengar dia
ngomong “wah tiket buat kelas Raditya Dika udah habis nih” dia
bilang ke temannya yang ada di sebelahnya, gue yang mendengar hal itu
merasa sangat beruntung, karena gue bisa mendapatkan tiket buat
kelasnya Radit.
Gue pikir kelasnya
Radit ini adalah kelas menulis, ternyata kelasnya adalah kelas
digital video, kelas menulis dipegang sama Panji. Pikir gue bodoh
amat ! Yang penting bisa minta tanda tangannya Raditya Dika. Saat
berada di kelas enggak menunggu lama lalu Radit datang dengan
disambut teriakan dan jeritan histeris cewek-cewek, saat Radit masuk
gue sempat tercengang, bukan karena terpesona, tapi liat tampangnya
Radit kayak orang baru bangun tidur, bahkan cewek yang duduk di
belakang gue sampai ngomong “nih orang enggak mandi ya ?”.
Sepanjang kelas berlangsung sangat meriah, apa aja yang keluar dari
mulut Radit selalu disambut tawa yang riuh. Radit bilang cara untuk
menjadi kreatif pertama “pola berpikir yang berbeda” maksudnya
adalah kalau lo mau berkarya jangan membuat sebuah karya yang
terbaik, sebab yang lebih baik dari lo banyak, buatlah karya yang
berbeda. Yang kedua adalah menemukan pola tersembunyi, gue sih lupa
maksudnya apa. Dan ketiga adalah hasrat untuk menciptakan sesuatu.
Lalu Radit
menceritakan tentang kegelisahan, karena dia bilang ide itu berasal
dari kegelisahan, dari kegelisahan itu membuat kita semakin menggali
apa yang bisa kita tuangkan dan bisa kita kembangkan, misal kalo
seorang cewek diputusin cowok lalu cewek tadi bertanya-tanya “kok
dia mutusin gue ya ? Salah gue apa ya ? Kenapa ya dia sampai mutusin
gue ?” itulah bentuk dari kegelisahan yang menggali sesuatu untuk
dituangkan. Lalu Radit mulai menanyai orang-orang yang mengikuti
kelasnya, dan sampai dia nanya ke salah satu cewek yang ada di
samping kanan gue.
“Lo sekolah apa
?”
“SD”
“Hah ? Serius lo
SD ?”
“Iya, serius”
“Kelas berapa ?”
“Kelas 6”
“Ok, kegelisahan
lo di sekolah biasanya apa ?
“Tentang pacar
kak”
“Buset ! SD udah
ngomongin pacar” jawab Radit dengan nada lemes dan disambut tawa
oleh orang-orang satu kelas, gue yang mendengarnya juga sedikit
jelous, karena sampai sekarang gue masih jomblo, kalah sama anak SD.
Setelah itu Radit
ngajarin gimana caranya bikin film, dari tata cahayanya, letak
pengambilan gambarnya, ekspresinya harus seperti apa, sampai
ditengah-tengah saat dia lagi memegangi handphonenya sebagai camera
untuk menuinjukkan cara pengambilan gambar yang bagus seperti apa,
Radit kemudian bilang “sampai sejauh ini ada yang ditanyakan ?”.
Gue ngacungin tangan.
“Iya lo mau
nanya apa ?” Radit mempersilahkan
Gue melontarkan
sebuah pertanyaan yang sama saat gue tanyakan ke Adittya Regas di
event sebelumnya.
“Cara produktif
dalam berkarya ?” tanya gue dengan suara yang gemetar karena gugup.
“Beloooommmm !
Ini lagi bahas bikin video, malah gimana cara biar produktif” sahut
Radit dengan nada kesal tapi lagi-lagi memancing tawa satu kelas dan
gue malu enggak ketulungan.
Setelah Radit
selesai menjelaskan hal-hal yang tadi, dia kembali ke gue dan
meladeni pertanyaan gue tadi.
“Tadi lo yang
nanya gimana caranya biar produktif ?”
Gue cuman
ngangguk.
“Lo sekolah apa
?” tanya Radit
“Pesantren”
“Hah serius ?”
“Iya” sahut
gue
“Batangan semua
dong isinya” sahut Radit dengan santai yang diiringi tawa satu
kelas
Terus dia bilang
gue harus jujur dengan kegelisahan gue, apa yang menjadi kegelisahan
gue di pesantren, ubah menjadi ide, lalu dipremise, lalu tuangkan
menjadi sesuatu, entah itu tulisan atau film. Lalu Radit bilang
“jangan takut memulai sebuah karya,apapun. Dalam diri lo ada buku
yang menunggu untuk ditulis, ada lagu yang menunggu untuk
dinyanyikan, dan ada film yang menunggu untuk dibuat” kali ini
kata-kata Radit enggak dibalas dengan tawa, melainkan tepuk tangan
yang meriah dari semua orang-orang yang mengikuti kelasnya Radit.
Kelas pun ditutup
Radit dengan selfie bareng sama orang-orang seisi kelas. Di sela-sela
Radit melakukan Selfie gue liat ada cewek yang minta tanda tanganin
buku “cinta brontosaurus” ke Radit, melihat hal itu gue pun
mencoba mendekati Radit buat minta tanda tangani buku gue juga, tapi
belum sempat gue mendekati Radit, dia udah ngeloyor keluar dikawal
dengan panitia-panitia event.
Sumber : instagram
@raditya_dika
Melihat Radit yang udah cabut ke
gedung dimana ada acara lain yang sudah menunggunya, gue pun langsung
ngikutin dia. Gue ikutin Radit sampai ke backstage, sampai di depan
ruangannya gue dihentikan oleh dua orang scurity yang menjaga ruangan
itu. Gue pun menjauh, dan dari kejauhan gue liat pintu ruangan Radit
terbuka, gue liat Radit lagi duduk santai dan enggak ngelakuin
apa-apa. Pikir gue enggak ganggu kali kalo gue cuman minta tanda
tangan doang, tapi sekali lagi gue males ngeladeni dua scurity tadi.
Enggak lama gue berdiri deket ruangan Radit, dia pun keluar dengan
dikawal oleh dua scurity tadi, melihat itu gue langsung memberanikan
diri buat minta tanda tangan, dari semua buku Radit yang gue bawa
saat itu ada Kambing Jantan, Cinta Brontosaurus, Radikus Makankakus,
Babi Ngesot, Marmut Merah Jambu, Manusia Setengah Salmon dan Koala
Kumal, saat itu gue ngambil asal hanya satu buku aja “Manusia
Setengah Salmon”, lalu sambil minta tanda tangannya gue denger
Radit juga nyanyi-nyanyi dengan pelan lagu “Kangen” dari Dewa19
mengiringi band pengisi acara yang membawakan lagu tersebut.
Setelah pulang ke rumah gue baru nyadar
dan mikir kenapa dari semua buku yang gue bawa malah “Manusia
Setengah Salmon” yang enggak sengaja gue ambil, gue ngerasa kalau
ini adalah pertanda bahwa gue harus “pindah”, untuk terus menjadi lebih baik.