Laman

Rabu, 10 Februari 2016

"Basah kelasku, basah selangkanganku"

Tadi pagi cuaca cukup mendung, setelah lama menunggu hujan yang tak kunjung turun, gue putuskan untuk berangkat sekolah. Iya’, gue berharap hujan turun, biar gue berangkat sekolah rada telat, nungguin hujan reda dulu, tapi sayang harapan gue pupus saat jam 7 tepat jalanan masih kering, dan enggak setetes pun hujan turun, karena enggak mau telat, ya gue berangkat dengan berat.

Sampai di sekolah saat jam pelajaran pertama berlangsung dan Ustadz baru datang, gue baru sadar kalau kitab gue ketinggalan. Gue keep calm aja seolah enggak terjadi apa-apa. Ketenangan gue enggak berlangsung lama, saat Ustadz tiba-tiba menatap ke arah gue, dan nanya “kitab kamu mana ?”, wajah teman-teman gue terlihat sangat sumringah karena tahu hal buruk akan menimpa gue.

“Kitab saya ketinggalan Ustadz,” sahut gue pelan

Enggak pakai basa-basi Ustadz nyuruh gue berdiri sebagai hukuman karena kecerobohan gue sendiri, teman-teman gue pada senang melihat gue dihukum, begitulah mereka. Sebenarnya gue bersyukur juga dihukum sama Ustadz, artinya gue punya sesuatu buat diceritain di blog ini, dan orang-orang pada senang dengan cerita-cerita kayak gini, penderitaan gue, bagi gue itu cukup lucu untuk ditertawakan.

Masih dalam hukuman gue, gue berharap ada kejadian menarik lagi yang terjadi setelah ini buat gue ceritakan. Entah sesholeh apa gue sehingga harapan gue benar-benar terkabul, saat istirahat pertama ketua kelas gue minta buat bersihin mushola yang juga emang jadi kelas kami, dikarenakan banyaknya hama binatang-binatang kecil yang bikin gatel, sebenarnya kehadiran hama ini enggak ganggu-ganggu amat, tapi cuman jadi alasan biar kami enggak belajar dan bisa seru-seruan.

Awalnya karena males bersih-bersih gue keluar dari mushola dan cuman nongkrong di teras, tapi ternyata lantai mushola disiram pakai air sabun sampai membasahi seluruh lantai dan membuatnya jadi licin. Gue di jendela mushola dari luar, seorang teman gue, Rizky Ramadhani melepaskan sarung dan baju koko yang dia pakai, sampai cuman makai celana bola dan baju kaos aja, lalu dia berseluncur di lantai mushola yang licin itu, melihat hal itu bikin gue tertarik buat ikutan. Tapi masih canggung karena saat itu cuman Rizky aja yang meluncur-luncur sendirian, perbuatan Rizky diiringi oleh temen gue yang lain, dia juga melepaskan baju koko dan sarungnya, sampai yang tersisa cuman celana pendek dan baju kaos. Gue mau ikutan tapi mikir jam pulang masih lama dan takut kena marah Ustadz, tapi enggak lama Ustadz datang dan enggak ada komentar yang artinya enggak ada masalah. Gue mulai melepaskan baju koko dan sarung gue, gue jalan-jalan dulu di dalam mushola untuk membiasakan diri dengan keadaan lantai yang udah benar-benar licin, saat gue rasa sudah siap untuk meluncur, gue jongkok dan menyandarkan badan gue di dinding mushola buat mendorong badan gue biar bisa melesat kencang, dan wussshhhhhhhhhh…..!!!! Gue meluncur dan terpental.

Gue liat temen gue Yani duduk di pinggir cuman ngeliatin, gue coba dekatin buat ngajak, awalnya dia enggak mau, tapi karena dipaksa, ditarik-tarik sama teman-teman gue yang lain dan udah terlanjur basah juga akhirnya dia juga ikutan. Di tengah mushola ada temen gue namanya Amin, dia berdiri sambil pegangan di pilar mushola, melihat hal itu gue kembali bersandar ke dinding mushola untuk mendorong badan gue, agar dapat meluncur ke arah Amin dan mencoba menjatuhkannya. Gue siap melesat, kaki gue udah ancang-ancang ambil posisi untuk mendorong badan gue dan, wusshhhhh….!!!! Gue meluncur dengan cepat, hampir menabrak kaki Amin tapi enggak nyampe, gue gunakan tangan gue untuk menarik kedua kakinya dan GUBRAK !!! Badan Amin terhempas ke ubin dengan diiringi gelak tawa teman-teman gue yang melihat kejadian itu, gue langsung menjauh tanpa rasa berdosa. Enggak lama setelah kejadian itu, dari pintu mushola ketua kelas gue Hafidz Khairiry berjalan masuk dengan santainya, seorang teman gue ngesleding tekel dia dari samping yang membuatnya jatuh, sesaat setelah Hafidz jatuh 2 teman gue saling menindihi badannya dengan brutal. Hari ini kelas benar-benar kacau.

Saat gue udah capek, gue pun membersihkan badan gue, gue ke kran di depan mushola yang biasa di pakai buat berwudhu untuk membersihkan badan gue yang penuh sabun sampai ke bagian selangkangan gue. Enggak lama setelah itu Ustadz datang, gue buru-buru makai sarung sama baju koko gue, padahal di balik sarung dan baju koko gue pakaian gue pada basah semua. Awalnya Ustadz datang buat ngajakin sholat dzuhur berjamaah, tapi melihat keadaan mushola yang basah dan enggak memungkinkan dipakai buat sholat dzuhur, lalu beliau balik ke kantor.

Melihat Ustadz yang balik ke kantor, gue ngambil tas sama helm gue buat buru-buru pulang. Dari jauh gue liat teman-teman gue yang lain pada pulang atau lebih tepatnya kabur satu persatu, melihat banyaknya santri yang pada pulang, Ustadz yang lain berdiri di depan kantor buat menghalau para santri yang mau pulang duluan, keberadaan Ustadz enggak gue hiraukan, gue lari sekencang mungkin menuju motor gue lalu pergi meninggalkan sekolah. Di tengah jalan hujan turun dan membasahi kembali pakaian gue yang memang sudah basah sebelumnya.

Sesampainya di rumah gue baru nyadar kalau lutut gue lecet, paha gue sakit, kaki gue penuh dengan lebam merah, muka gue ancur (itu emang udah dari sananya). Tapi dari sini gue belajar satu hal, seru-seruan bareng teman adalah pereda luka paling mujarab, walau enggak menyembuhkan, setidaknya lo bisa melupakan sejenak sakit yang lo derita.

Video gue saat menjatuhkan Amin, bisa lihat di instagram gue @ahmaddha_il , ini linknya :

https://www.instagram.com/p/BBmKqwRFxgV/

(Ini adalah foto gue saat meluncur untuk mencoba menjatuhkan teman gue si Amin)

Rabu, 20 Januari 2016

Kisah Cinta Yani (dan rambutnya)

Biasanya sehabis gue nulis postingan di blog, gue langsung nyebarin link blog gue lewat pesan siaran di “BlackBerry Messanger”, dan kemaren saat gue broadcast postingan dengan judul “Belajar dari rasa sakit”, seorang teman sekelas gue, Ahmad Yani dia ngerespon pesan gue dan kasih masukan atas blog ini, dia bilang kalau gue harus lebih banyak menuliskan cerita tentang kehidupan gue di pesantren, gue terima masukannya, dan masukkannya memang ada benarnya, blog ini udah jarang gue isi dengan cerita-cerita kehidupan gue di pesantren, yang ada malah berisikan kegalauan-kegalauan gue, hal itu terjadi karena kegelisahan gue terhadap asmara lebih dominan ketimbang kegelisahan-kegelisahan gue tentang apa yang terjadi di pesantren, lagian gue enggak menemukan hal menarik di pesantren yang bisa gue tuliskan, sampai pada hari sabtu kemarin, saat jam pelajaran ketiga dan kegiatan belajar mengajar berlangsung.

Seorang temen gue lari dengan cepat dari luar kelas menuju ke dalam kelas, lalu dia duduk sebentar dan ngasih kabar kalau ada Ustadz yang biasa ngerazia rambut para santri bakal datang ke kelas. Kabar yang berawal dari barisan belakang itu menyebar dengan cepat ke barisan depan, dan satu kelas mendadak penuh dengan keresahan temen-temen gue yang pingin pada kabur menghindari razia rambut itu, tapi gue enggak ! Bukan karena rambut gue rapi, indah dan berseri, BUKAN ! Bukan karena gue mau menghadapinya dengan lapang dada, juga BUKAN ! Gue udah biasa ! Seumur hidup gue sekolah di pesantren, gue selalu kena razia rambut, jadi gue nyantai aja.

Beda halnya dengan gue yang nyantai dengan razia rambut, temen gue yang bawa kabar tadi kabur, saat dia kabur, Ustadz yang mendampingi Ustadz yang biasa ngerazia rambut para santri ini ngejar dia, enggak lama kemudian Yani juga ikut-ikutan kabur, Yani kabur ke WC, pas di WC emang sial dianya, malah ketemu sama Ustadz yang tadi ngejar temen gue yang kabur duluan.

“Kemana lo ?,” Bentak Ustadz

“Ke WC, Ustadz,” Sahut Yani pelan

“Alesan ! Balik ke kelas !,” Ustadz yang satu ini emang terkenal galak, jangankan ngebentak, kalau beliau lewat aja santri biasanya langsung pada kabur.

Yani balik ke kelas sambil ditoyor-toyor Ustadz yang disertai dengan marahnya beliau, sampai di kelas apesnya Yani belum kelar, kepalanya dipukul Ustadz tadi, terus rambutnya dipotong secara brutal karena mencoba kabur.

Sebenarnya gue heran, si Yani ini kenapa nyoba kabur, pacar juga enggak punya, rambutnya botak kek, klimis kek, kagak karuan habis dipotong Ustadz kek, kan enggak ngaruh ya’, tampil keren juga bukan buat siapa-siapa, tampil enggak karuan juga enggak mempengaruhi siapa-siapa, pacar enggak punya gitu.

Awalnya gue ngira Yani enggak punya pacar gara-gara dia homo, ternyata dia enggak homo, tapi mantannya yang homo (Lah ?), enggak ! Gue becanda, Yani normal kok. Ya’ gue ngiranya dia enggak mau pacaran gara-gara mau fokus sekolah, tapi ternyata enggak ! Dia trauma, gara-gara dulu pacarnya sering mendapatkan gosip-gosip kurang menyenangkan dari teman-temannya yang mengatakan kalau Yani ini suka godain cewek, padahal bagus ya kalau dia godain cewek daripada godain bencong. Ceweknya kemakan gosip-gosip murahan dari teman-temannya, gue enggak tahu deh orang yang kemakan gosip itu e’eknya keluar apa. Yani pun putus dengan ceweknya. Beberapa waktu kemudian, si cewek menyadari kalau gosip-gosip tentang Yani itu sepenuhnya salah, cewek itu menyesal karena sudah meninggalkan Yani, tapi apa daya, nasi sudah menjadi dadar gulung, Yani tak menghiraukan bujuk rayu wanita yang sudah membuatnya jera dalam bercinta, sebenarnya enggak jera sih, dia belum ketemu yang cocok aja. Sebenarnya di kasus Yani ini bukan salah ceweknya, cewek percaya sama temannya wajar aja menurut gue, dan temen-temen ceweknya ini juga enggak salah karena mengkhawatirkan temannya biar enggak terluka, tapi yang lebih enggak bersalah adalah Yani, dia cuman jadi korban dari ketidak percayaan ceweknya, dan suara-suara sumbang dari teman-teman pacarnya.

Yani ya’, nyuruh gue nulis cerita-cerita yang ada di pesantren, enggak cuman sekedar nyuruh, tapi juga terlibat menjadi bagian cerita yang gue tulis.

Ustadz yang biasa ngerazia rambut santri memulai dari barisan paling kanan depan, gue rada deg-degan, tapi tetap nyantai, gue duduk di tengah barisan kedua. Satu persatu rambut teman gue sudah mulai enggak jelas bentuknya, gue bisa lihat ekspresi-ekspresi kecewa di wajah temen-temen gue. Ustadz pun sampai ke tempat duduk gue, gue disuruh lepas peci, rambut gue dielus-elus, dan betapa ajaibnya, entah karomah apa yang gue dapatkan saat itu, RAMBUT GUE ENGGAK DIPOTONG ! Rasanya kayak ada malaikat yang memainkan biola di samping gue, mengalunkan lagu yang merdu dari surga, menyalakan api asmara yang dahulu pernah membara (jadi kayak lagu ya ?). Saat itu gue senengnya bukan main, setelah berkali-kali menjadi korban razia rambut, tapi hari itu rambut gue hanya dielus-elus oleh Ustadz, dan lebih bahagia lagi di saat temen-temen yang biasa ngejekin gue kalau kena razia rambut, gue bisa menertawakan mereka dengan riang gembira dan kebahagian yang tulus terpancar dari hati gue yang penuh dengan luka ini.


Ini adalah Foto Ahmad Yani sebelum rambutnya kena potong, percayalah dia masih gantengan gue !

Senin, 18 Januari 2016

Saya terima nikahnya...

Ternyata cinta enggak sesederhana yang gue kira. Gue enggak ngerti, entah arti cinta yang berubah, atau gue yang berubah. Mungkin karena umur gue yang udah bertambah, atau karena gue enggak bisa mengontrol nafsu gue yang menggebu-gebu layaknya remaja yang baru tumbuh beranjak dewasa. Enggak tau kenapa di usia gue yang tergolong muda ini, gue terbebani oleh pikiran untuk NIKAH ! Ya’ menikah. Beberapa minggu ini otak gue dihantui oleh bayangan pernikahan, bahkan mulut gue selalu mengucapkan akad nikah di setiap kesempatan “saya terima nikahnya dengan mahar tersebut tunai” (dalam bahasa Arab) enggak bosan lidah gue mengucapkannya, seolah-olah gue adalah mempelai pria yang sudah siap untuk menghadap penghulu, gue mikirin pekerjaan apa yang cocok buat gue, bisnis, jadi karyawan atau  menjual jasa, hal-hal itu memenuhi benak gue, sebuah beban yang tak seharusnya dipikul oleh remaja seumuran gue.

Gue enggak tahu apa yang merasuki gue, apakah cinta gue kepada pacar gue terlalu besar, atau nafsu gue yang terlalu besar. Hari minggu kemarin satu hari penuh gue galau mau ngomong ke orang tua gue kalau gue pingin nikah, gue pikir gue udah gila memikirkan hal semacam itu, gue sekolah baru 2 Ulya (setara SMA) , dan di otak gue udah terbesit hasrat pingin nikah, fix gue anggap gue gila ! Mapan memang tidak termasuk syarat menikah, tapi gue enggak mau membiarkan pasangan gue hidup blangsak sekalipun dia mau hidup susah bareng gue, gue sebagai laki-laki merasa berdosa membiarkan pasangan gue hidup susah, memang hidup enggak selalu menyenangkan, tapi kalau susah terus-terusan kan kasian.

Gue enggak bisa membiarkan pikiran-pikiran ini membebani gue, karena belum bahkan bukan saatnya untuk gue memikirkan hal-hal semacam itu. Pada akhirnya untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, misalkan gue berhenti sekolah, atau hal-hal buruk lainnya, gue putuskan untuk mengakhiri hubungan gue dengan pacar gue, agar gue bisa fokus dengan apa yang ada di hadapan gue, bukan apa yang jauh di depan gue.

Sakit mengingat betapa gue menyayangi dia tapi mau enggak mau gue harus melepaskannya, demi kebaikan gue. Tindakkan gue memang terlihat sangat egois, tapi di sisi lain, apa yang gue lakukan ini enggak semata-mata hanya untuk kepentingan gue pribadi, tapi juga kepentingan dia, di umur kami yang masih sangat muda, ada banyak kesempatan untuk meraih hal yang lebih baik, dan gue enggak mau kesempatan itu hilang karena kegegabahan dan keputusan-keputusan bodoh dari gue yang masih sangat labil.

Siapapun pasti bakal sakit hati diputusin sama pacarnya, gue bisa maklum kalau pacar gue sakit hati karena putus sama gue, dan gue merasa sangat bersalah sudah membuatnya jatuh cinta lalu meninggalkannya karena kebodohan gue. Rasa bersalah itu seperti hukuman buat gue, atas apa yang sudah gue perbuat, yaitu membuat dia terluka. Kadang cinta memang harus penuh dengan luka, dan dari luka itu tanda bahwa cinta itu memang benar-benar ada. Sayangnya dia enggak mengerti seperti apa kondisi gue, yang frustasi memikirkan hubungan ini untuk mengarah ke jenjang yang lebih serius, yang seharusnya gue enggak perlu memikirkan hal itu di umur gue yang sekarang, itu yang enggak bisa dia lihat, yang dia lihat hanya seorang cowok brengsek yang udah mutusin dia, membuat dia terluka, dan cowok itu yang salah, cowok memang selalu salah. Harusnya dia sadar betapa sayangnya gue ke dia sampai-sampai gue memikirkan hal yang enggak seharusnya gue pikirkan, yaitu masa depan gue bersama dia, sayangnya dia enggak ngerti dan enggak akan mengerti, gue akan tetap menjadi orang yang bersalah, gue emang salah, dan selalu begitu, orang enggak pernah bisa memandang sisi baik gue, bahkan dia yang katanya sayang sama gue enggak bisa melihat itu, enggak bisa melihat betapa terpuruknya gue hanya karena memikirkan dia, betapa sengsaranya gue ketika melihat dia bahagia bersama orang lain, betapa menderitanya gue ketika harus melepaskan dia, semua itu enggak akan terlihat, tertutup oleh luka yang gue torehkan di hatinya.

Dia cewek yang baik, bahkan mungkin yang terbaik yang pernah gue miliki, di matanya gue melihat ketulusan dan masa depan, di senyumnya gue melihat kedamaian surga, lembut genggaman tangannya membuat gue merasa ingin hidup sekali lagi. Mungkin terdengar berlebihan, tapi memang begitulah faktanya. Di saat 3 tahun luntang-lantung PDKT sama cewek, gue selalu dicuekin, diPHP, enggak dipedulikan, dia dengan kebaikkan hatinya menerima gue apa adanya, dia kayak oase yang hadir saat gue sudah lama berjalan dan tersesat di padang gurun yang tandus. Dia cewek yang tangguh, mampu bersabar menghadapi sikap gue yang kerap kali meledak-ledak. Dia menjadi alasan gue semangat dalam menulis, untuk menerbitkan sebuah buku, menjadi penulis, dan menjadi sukses, agar dapat membahagiakannya di saat yang tepat, saat gue yang bukan siapa-siapa menjadi seseorang yang membuat orang lain bangga, saat gue yang enggak punya apa-apa sudah punya sesuatu untuk menjalani pahit manisnya kehidupan, tak perlu mapan, asal cukup untuk mencukupi kebutuhannya, tapi sayangnya bukan saat ini. Bayi yang harus makan bubur enggak boleh makan nasi kalau belum waktunya, dan sekarang belum waktunya, mungkin nanti.

Untuk saat ini gue hanya sayang sama dia, move on ? Buat apa ? Gue enggak berusaha untuk melupakannya, karena udah lama gue enggak jatuh cinta, dan selama perasaan ini masih ada, gue enggak akan pindah ke lain hati, lalu kenapa gue pergi ? Karena gue pergi untuk kembali, kapan gue kembali ? Gue bukan orang yang suka dengan hal-hal yang enggak pasti, tapi gue enggak mau memastikan kapan gue kembali, sebab hidup penuh dengan misteri, gue enggak tahu kedepannya akan jadi seperti apa, tapi satu hal yang pasti, jika perasaan ini masih ada, gue pasti akan kembali, jodoh pasti bertemu bukan ? Iya’ PASTI !

Senin, 11 Januari 2016

Belajar dari rasa sakit (Patah Hati)

Hidup ini penuh dengan kesakitan, setuju ? Ya’ kalo enggak setuju gue juga enggak maksa, tulisan ini tetep bakal gue lanjutkan juga sih. Banyak kesakitan-kesakitan yang selalu hadir di kehidupan kita, misalkan sikut kejedot lalu berasa kayak kesetrum, serpihan kayu masuk ke dalam kuku lalu kalau dicabut sakitnya bukan main, kalo pas dicabut terus masih ada yang kesisa susah banget buat ngambilnya, sakit pula, jari kelingking kaki ketendang meja, biasanya gue langsung guling-guling dan jerit-jerit kayak ibu-ibu melahirkan saat mengalaminya, dan banyak lagi kesakitan-kesakitan yang lainnya. Kali ini gue bakal membahas rasa sakit yang gue alami, yang terjadi dari berbagai macam hal.

Rasa sakit yang cukup gila menurut gue adalah saat disunat. Saat orang tua gue bilang kalau disunat itu rasanya kayak digigit semut dan bodohnya gue percaya perkataan mereka, ya’ gue pun mau-mau aja disunat, gue enggak disunat di rumah sakit, gue sunat  dengan cara tradisional, gue enggak mau menceritakan prosesnya seperti apa, karena gue enggak mau bikin para pembaca jadi muntah gara-gara harus baca cerita tentang titit gue, gue cuman nyeritain betapa sakitnya disunat. Rasa sakit disunat itu bikin gue kayak orang kesurupan, saat itu gue masih kecil banget, dan pembendaharaan kata-kata kotor gue enggak banyak, tapi ketika disunat dan merasakan sakitnya disunat, gue teriak sejadi-jadinya, dan isi teriakan gue semuanya kata-kata kotor yang enggak banyak diketahui oleh anak-anak seumur gue pada saat itu, gue nangis jerit-jerit sekencang-kencangnya, tapi percuma, rasa sakit itu tetap ada. Kelar proses sunatan, gue lega, gue merasa seperti terlahir kembali, oksigen rasanya jadi lebih segar saat sebelum gue disunat, tapi ternyata kelegaan gue enggak berlangsung lama, masih ada proses selanjutnya yang KAMPRET ! SAKIT PARAH! Pelepasan perban bekas sunatan gue, jadi biasanya sesudah sunatan yang disunat ini mesti berendam di air biar perban atau jahitan (kalau dijahit) bisa lepas, tapi beda halnya dengan gue, setelah berendam berhari-hari  tapi  cuman lepas dikit aja, sampai pada akhirnya nyokap memutuskan mendatangkan tante gue yang juga seorang perawat untuk melepaskan perban yang melingkar di titit gue ini. Saat akan memulai proses pencabutan perban, gue rada deg-degan, pikir gue “ah cuman lepas perban”, tapi kalimat itu gue tarik kembali saat perlahan perban di titit gue dilepaskan oleh tante gue, SAKITNYA bikin teriakan gue dari lantai 2 rumah bisa kedengeran sampai perut bumi, sakit parah, dan reaksi gue saat itu menurut gue enggak berlebihan gitu, bukan karena guenya cengeng atau enggak kuat nahan sakit, enggak ! Soalnya gue pernah liat bokap masang koyo di betisnya yang berbulu itu, dan saat ngelepasnya gue liat dengan mata kepala gue ada air mata yang netes dari mata bokap, karena sakitnya nyabut koyo dan bulu-bulu di betisny harus ikut kecabut, orang dewasa loh nangis, lah gimana gue yang saat itu masih kecil, dan yang gue hadapin lebih dari nyabut koyo dari betis yang berbulu, nyabut perban yang lengket dari titit yang luka, oh my God, cewek enggak akan pernah ngerti gimana sakitnya. Tapi dari sakitnya sunatan ini gue belajar satu hal “untuk menjadi BESAR, sakit itu WAJAR”.

Enggak cuman dari sunatan rasa sakit yang terjadi dalam hidup gue, gue pernah terjun bebas dari lantai 2 sekolah SD gue yang tingginya kira-kira 10 meteran mungkin, gue masih ingat hari itu adalah hari pertama gue duduk di kelas 2 SD, saat itu ada pembangunan kelas baru 2 tingkat di dekat kelas gue, saat itu masih pagi, dan bel sekolah belum berbunyi, gue main kejar-kejaran sama 1 temen gue, lari-larian kayak anak kecil pada umumnya, sampai gue lari ke bangunan belum jadi itu, gue dan temen gue lari-larian sampai menaiki tangga menuju lantai 2, dan setelah sampai di atas kami terhenti gara-gara enggak nyadar udah lari-larian sampai ke atas gedung sekolah, karena rasa penasaran kami berjalan menuju pinggiran bangunan gedung, kami berjalan perlahan karena saat itu enggak ada pagar yang menutupi pinggiran gedung, jadi kalau salah langkah dikit aja bisa jatuh ke bawah, saat itu gue liat ember yang tergantung di katrol untuk mengangkut semen dari bawah ke atas, gue mencoba meraih ember itu biar bisa main-main , saat gue mencoba meraihnya, badan gue mulai enggak seimbang, dan gue jatuh, saat masih di udara dalam keadaan setengah sadar dan enggak mikirin apa-apa gue denger teriakan dari banyak orang, dan gubrak ! Badan gue terhempas di gundukan pasir, dengan posisi kepala terlebih dahulu, badan gue terhempas dengan keras, rasanya kayak gue lagi tanding smack down sama Hulk, gue terbaring lemah, Hulk naik ring lalu melompat menindihi tubuh gue. Saat itu gue udah menyentuh daratan dengan keadaan setengah sadar, keributan dari orang-orang yang menggerumbungi gue menyadarkan gue, gue bisa rasakan tubuh gue penuh dengan pasir sampai masuk ke dalam mulut, lalu ada ibu-ibu ngasih gue minum biar gue enggak shock, gue enggak ingat kejadian selanjutnya seperti apa, karena kesadaran gue saat itu benar-benar kacau, gue shock berat. Sampai satu tahun kejadian itu berlalu, saat gue kelas 3 SD gue tinggal di rumah kakek nenek gue, suatu pagi gue terbangun karena gue kedinginan hebat, seluruh badan gue kejang-kejang, terutama tangan gue yang kejangg parah, satu rumah panik, dan lebih panik lagi karena saat itu gue enggak bisa disentuh, setiap ada yang nyentuh gue gue teriak karena kesakitan, saat itu tangan gue sakit banget saat mau megang atau meraba sesuatu, gue enggak bisa merasakan kaki gue, tapi saat gue berdiri rasanya kayak berdiri di atas benda-benda tajam, rasanya setiap langkah kaki gue tersayat-sayat. Enggak pakai lama gue langsung dilarikan di rumah sakit, sesampainya di UGD gue membuat para suster sedikit kebingungan karena mereka bingung gimana mau meriksa penyakit gue, sedangkan gue kesakitan kalau dipegang, sampai pada akhirnya gue disuruh buat cek darah, dan saat itu gue takut disuntik, jadi ketika perawatnya datang bawa suntikan dan berjalan mengarah ke arah gue yang saat itu tidak berdaya, melihat suntikan di tangan suster memberi gue sebuah kekuatan yang maha dahsyat, di saat keadaan seperti itu mendadak gue lompat dari ranjang rumah sakit dan KABUR ! Gue lari sekenceng-kencengnya entah dengan kekuatan apa gue bisa berlari itu, padahal beberapa menit sebelumnya gue enggak bisa merasakan kaki gue, dan enggak sanggup buat berdiri. Saat itu gue sembunyi di sebuah tempat di pinggir sungai tempat biasa gue main-main air bareng bokap, saat itu semua keluarga pada nyari gue, dan saat gue bersembunyi gue kayak orang sakau, kejang, kedinginan, keringetan, dan kembali enggak bisa merasakan kaki gue, telapak tangan gue kembali sakit saat dipegang, setelah lama bersembunyi pada akhirnya bokap lah yang menemukan keberadaan gue, gue langsung dibawa ke rumah sakit lagi untuk dicek darahnya, dan ternyata gue mengalami pendarahan di kepala gara-gara kejadian satu tahun lalu, dan efeknya baru muncul satu tahun kemudian, dari sini gue belajar “rasa takut akan mengalahkan rasa sakit, bahkan membuat rasa sakit menjadi enggak kerasa lagi, yang ada hanya takut, takut akan rasa sakit.”

Tapi di antara semua kesakitan yang pernah gue rasakan di hidup gue, enggak ada sakit yang seunik patah hati, karena sakitnya patah hati itu hadir tanpa luka, tanpa darah, tanpa harus jatuh dari tempat yang tinggi, tanpa harus dihantam oleh sesuatu yang keras, tanpa ada jarum yang harus ditancapkan ditubuh kita, dan tanpa terduga. Patah hati pertama gue terjadi di usia sangat belia, saat gue kelas 1 SMP, saat itu umur gue mungkin baru 13 atau 14 tahunan aja, terlalu muda untuk patah hati, intinya gue patah hati gara-gara diputusin cewek gue saat itu. Harus gue akui disunat, jatuh dari gedung, disuntik  hal-hal seperti itu lebih sakit daripada patah hati, tapi kenapa patah hati terkesan mengalahkan rasa sakit apapun ? Sebab patah hati selalu diiringi dua hal, “kesedihan dan kehilangan”.

 Saat lo sakit parah lo masih bisa senang dengan orang-orang yang menjenguk lo mungkin, atau apapun itu, tapi kalo udah patah hati enggak mungkin bisa senang bukan ?. Kehilangan, patah hati juga selalu diiringi dengan kehilangan, kalo lo lagi sakit, separah apapun itu lo masih bisa lihat orang-orang yang lo sayang di sekeliling lo, tapi saat patah hati itu artinya lo kehilangan seseorang yang lo sayang, dan itu yang membuat patah hati terkesan sakit yang benar-benar sakit. Tapi dari patah hati gue belajar banyak, gue bisa nulis gara-gara sebuah luka yang terjadi karena patah hati, gue lebih bisa memahami cewek, gue lebih bisa mengerti cinta, terlebih-lebih saat tahun lalu gue beli bukunya Raditya Dika yang berjudul “Koala Kumal” di bab terakhirnya yang berjudul sama dengan nama bukunya, menceritakan tentang pengalaman patah hatinya Radit, begini ceritanya gue kutip dari bukunya :

MENJELANG buku ini selesai ditulis, gue pun mulai mencari judul yang pas. Seperti biasanya, gue berkonsultasi dengan menelepon Mbak Windy Ariestanty, editor buku ini.

Gue bertanya ‘Apa ya, Mbak, judul yang pas untuk buku baruku?’
Mbak Windy bilang, ‘entar aja ya, akhir bulan aku bantu mikir. Sekarang aku mau ke Afrika, mau jalan-jalan. Emang bab apa yang paling kamu ingat sewaktu nulis buku itu ?’

‘Ada, soal patah hati yang terhebat,’ kata gue.

‘Cari judul yang ada hubungannya sama itu aja,’ kata Mbak Windy. Gue setuju, namun judulnya masih belum terbayang.
Proses penulisan buku ini pun berlanjut. Seperti biasanya sebelum menulis buku baru, gue temui dulu orang yang akan gue tulis dalam buku ini, untuk meminta izin ditulis. Di antara orang-orang lain, gue juga menemui salah satu mantan pacar yang gue tulis di salah satu bab dalam buku ini. Kebetulan kami saling follow Twitter satu sama lain, gue mengirimkan direct message kepadanya.

‘Apa kabar ?’ tanya gue

‘Baik’, katanya. ‘Nomor kamu ganti ?’

‘Iya’, kata gue.

Lalu gue memberitahukan nomor gue yang baru.
Kami pun mulai Whatsapp-an, dia cerita bahwa pacarnya sekarang ternyata tidak cocok dengan dirinya. Dia cerita bagaimana mereka pernah berantem hebat di tempat umum. Pacarnya ini adalah selingkuhannya dulu, ketika kami masih pacaran.Enggak, gue tidak menyimpan dendam sama mantan gue ini. Beberapa luka bisa sembuh dengan baik seiring berjalannya waktu.

Beberapa hari kemudian mantan gue ini mengajak ketemuan di Toscana, Kemang. Ketika dinner, mantan pacar gue baru mengaku kalau cowoknya gak tahu tentang pertemuan kami. Dia bilang ‘Aku kayaknya salah deh, jadian sama dia.’

‘Maksud kamu?’

‘Aku nyesel’, katanya.

‘Maksudnya nyesel ?’

‘Enggak, enggak apa-apa,’ kata dia, tidak melanjutkan.Gue tahu apa yang sebenarnya dia maksud, tapi gue juga enggan meneruskan. Kami lalu membayar bill, membaginya dua.

‘Jadi gimana ?’Boleh, ya, aku tulis cerita kita di buku ?,’ tanya gue pada saat kami hendak berpisah di depan restoran.

‘Asal namaku disamarin kamu boleh nulis apa aja tentang aku,’ katanya.

Anehnya, setelah pertemuan itu, gue makin akrab dengan mantan gue.Dia sering menelepon gue ketika gue sedang bekerja. Dia jadi sering membalas mention gue di Twitter. Dia jadi sering konsultasi masalah apapun yang sedang dia hadapi dengan gue saat itu. Puncaknya, dia mengajak gue makan malam lagi. Dia bilang ‘kali ini aku yang bayar’.

Kami pun bertemu kembali.

Sama seperti sebelumnya, kami dinner. Di Toscana, kami duduk di meja yang sama, memesan makanan dan minuman yang sama. Dia pun bercerita betapa menyesalnya dia telah mutusin gue. Dia bercerita tetang bagaimana orang kadang melakukan kesalahan dan dia telah belajar dari situ. Dia lalu bilang,’Aku mau ninggalin pacarku buat kamu,’

‘Maksud kamu pacarmu yang dulunya selingkuhanmu dari aku ?Sekarang aku yang mau kamu jadiin selingkuhan kamu?’ tanya gue.

‘Kok, ngomongnya gitu, sih ?’

‘Ya, gimana,’ kata gue, pelan.

Aku udah belajar banyak,’ katanya pelan.

Gue memandangi dia, dalam.

Lucu juga bagaimana nasib bisa bergulir seperti ini. Menulis buku ini mengantarkan guekepada pertemuan saat ini. Kami, berhadap-hadapan. Dua orang yang dulu pernah pacaran, tapi gue nerasa justru berhadapan dengan orang asing, orang yang gue sudah tidak kenal lagi. Obrolan kami, kok, terasa beda. Rasa yang gue dapatkan dengan berduaan bersamanya sekarang pun terasa berbeda.

Gue jadi teringat satu foto di situs Huffington Post. Ceritanya begini, ada seekor koala yang tinggal di New South Wales, Australia. Koala itu berimigrasi dari hutan tempat tinggalnya. Beberapa bulan kemudian, ia kembali ke hutan tempat dia tinggal. Namun, ternyata selama dia pergi, hutan yang pernah menjadi rumahnya ditebang, diratakan dengan tanah oleh para penebang liar. Si Koala kebingungan kenapa tempat tinggalnya tidak seperti dulu. Ia hanya bisa diam, tanpa bisa berbuat apapun. Seorang relawan alam mengambil foto itu. Jadilah foto seekor koala kumal duduk sendirian. Memandangi sesuatu yang dulu sangat diakrabinya dan sekarang tidak lagi dikenalinya.

Sama seperti gue melihat dia sekarang. Patah hati yang gue alami akibat apa yang dulu dia lakukan membuat dia berbeda di mata gue. Gue dulu jatuh cinta pada seorang perempuan cantik, baik dan bisa gue percaya. Namun, setelah semua yang terjadi, dia berubah menjadi orang lain. Gue merasa asing.

‘Kamu dengerin aku gak, sih?’ tanya dia, lagi.

Gue memandanginya, pikiran gue masih berjalan sendirian. Di saat ini gue menyadari, gue tidak mau seperti seekor koala kumal yang pulang ke tempat yang dulu nyaman untuknya, menyadari tempat itu telah berubah, tetapi tidak bisa berbuat apa-apa.

‘Ya, apa kamu bilang tadi ?’

‘Aku sekarang udah beda,’ kata dia.

‘Aku juga udah beda,’ kata gue. Lalu gue melanjutkan ‘Dan aku yang sekarang, enggak mau dengan kamu yang sekarang.’

Dia hanya diam saja. Gue juga hanya diam saja. Malam itu, menjadi malam yang terpanjang dalam hidup kami.

Sepulangnya dari restoran, dengan muka kusut gue membuka pintu. Nyokap masih asyik menonton sinetron favoritnya. Gue duduk di sofa, di sebelahnya. Nyokap bertanya,’Kamu kenapa ?’

‘Enggak, abis ketemu dia, Ma,’ kata gue, menyebutkan nama mantan gue itu.
‘Oh,apa kabar dia ?’

‘Baik sih,’ kata gue dengan tidak acuh.
Nyokap melihat ke mata gue, naluri seorang ibu nampaknya membuat dia tahu apa yang bikin gue bersikap beda malam itu. Nyokap lalu bertanya, ‘Dik, kamu tahu ga istilah Mama untuk orang yang sudah pernah merasakan patah hati ?’

‘Apa, Ma ?’

Nyokap menatap mata gue, lalu bilang,’Dewasa.’

Nyokap beranjak ke kamar, meninggalkan gue sendirian. Ada detak jam yang terdengar sayup, ada senyum kecil yang mengembang di bibir. Ada sesuatu yang selesai.

Ya’ itu tadi tulisan dari Radit yang gue kutip dari bukunya “Koala Kumal”, beda banget ya’ tulisan penulis berbakat sama penulis amatiran kayak gue. Dan perkataan dari nyokapnya Radit begitu mengena di hati gue, dan membuat gue dapat belajar dari sakitnya patah hati, bukan cuman diiringi kesedihan dan kehilangan, tapi juga kedewasaan.

Rabu, 06 Januari 2016

"Move On (Pindah Hati Pindah Pribadi)

Ada yang susah move on ? Atau ada yang ingin berubah ?

“Pindah !”

Satu-satunya alasan kenapa gue menulis tulisan ini adalah karena keresahan seorang cewek, temen SMP gue yang pingin “move on”. Bicara soal move on artinya bicara soal pindah, pindah hati. Satu kata dari gue buat move on adalah “BERAT”, sebab melepas masa lalu artinya menempuh hidup baru, dan kehidupan baru itu bukan dijalani tapi diciptakan, sebagaimana perkataan Rangga Almahendra yang diperankan Abimana Aryasatya suami dari Hanum Salsabiela Rais yang diperankan Acha Septriasa dalam film “99 cahaya di langit Eropa (part II)” saat dia berpidato di hari kelulusannya, dia menutup pidatonya dengan mengatakan “masa depan itu bukan untuk ditunggu, tapi diciptakan”, setelah kehidupan baru tercipta barulah kita bisa menjalaninya.

Pindah itu sebuah keharusan, mau enggak mau, suka enggak suka, semua orang harus pindah dari masa lalunya sebab waktu tak pernah berjalan mundur, semua orang harus maju sebagaimana waktu, apapun dan bagaimanapun caranya. Seperti sekawanan kuda zebra di Afrika yang setiap tahunnya berpindah tempat untuk kehidupan yang lebih baik, mereka diburu singa di daratan, lalu kumpulan buaya telah menghadang saat mereka akan menyebrangi sungai, dengan semua resiko itu tak seekorpun dari mereka yang menetap, sebab mereka harus pindah, agar kehidupan dapat terus berjalan.

Raditya Dika di dalam bukunya yang berjudul “Manusia Setengah Salmon” dia menuliskan ;

Sewaktu lagi menulis buku ini, gue mengalami banyak perpindahan.

Gue mengalami pindah hubungan dengan nyokap gue. Seiring dirinya yang semakin tua, hubungan gue dengan dia semakin erat.

Ketika lulus kuliah, gue mengalami perpindahan ke dunia nyata yang semakin sengit. Ketika gue masuk ke dunia nyata, gue mengalami perpindahan cita-cita. Gue juga mengalami pindah rumah, yang tadinya di Blok S sekarang di Cipete. Gue mengalami perpindahan selera, yang tadinya tidak nyaman tinggal di rumah menjadi selalu kangen rumah kalau pergi jauh.

Hidup sesungguhnya adalah potongan-potongan antara satu perpindahan satu dengan yang lainnya. Kita hidup di antaranya.

Seorang teman pernah cerita, terakhir kali dia kumpul-kumpul sama temannya, dia merasa out of place. Teman-temannya membawa kereta dorong berisi bayi. Sementara temen gue ini dia masih single dan belum punya pacar. Teman-temannya yang lain pada ngomongin cara merawat anak dan popok apa yang pas, sedangkan dia seumur hidup belum pernah megang popok.

Seorang teman lain baru lulus kuliah, dan bapaknya yang sudah tua sering sakit-sakitan. Kerjaan dia sekarang, selain bekerja dari rumah, adalah melakukan baby sitting, nungguin bapaknya di rumah, ngurusin bapaknya mulai dari obat sampai menemani di kamar waktu malam hingga sang bapak bisa tertidur. Dia bilang, ‘Dulu, gue yang diurusin, sekarang gue yang ngurusin bokap’. Peran yang dulu dilakukan oleh bokapnya ke dirinya, sekarang menjadi terbalik.

Pindah juga menyangkut urusan hati.
Seorang teman lain menraktir gue baru-baru ini karena mampu melupakan mantan pacarnya. Ini adalah perjuangan luar biasa bagi dia yang hampir selama dua tahun belakangan masih terus dibayang-bayangi mantan yang meninggal terlalu cepat.

Tidak hanya hal-hal yang tadi, kalau mau dipikir-pikir, bagian-bagian dalam tubuh kita juga pindah. Gerakan peristaltik ketika menelan makanan membuat sarapan pindah dari mulut ke kerongkong dan akhirnya menuju lambung. Sel darah merah berpindah sejak mulai dipompa jantung hingga menyebar ke seluruh bagian tubuh. Bakteri di dalam sistem pencernaan pindah dari usus kecil ke usus besar.

Benda mati juga berpindah-pindah. Mobil pindah setiap hari, debu-debu kecil di rumah terbang ketika ada angin, bahkan dalam skala yang paling kecil elektron berpindah-pindah, berputar mengelilingi proton dan neutron dalam sebuah atom.

Dan…, foto mesra sepasang kekasih bisa pindah dari pigura ke tempat sampah sehabis mereka putus.

Itulah apa yang dituliskan Radit di dalam bukunya. Dari situ gue belajar bahwa hidup memang segala hal tentang perpindahan, enggak cuman sekedar pindah hati, tapi juga perpindahan pribadi, perpindahan gue dari yang enggak pernah sholat jadi gelisah kalau belum ngerjain sholat, yang dulunya siswa sekarang jadi santri, yang dulu nganggap cinta itu adalah luka sekarang nganggapnya karunia, yang dulu rambutnya bisa dijambak sekarang sudah botak, yang dulunya Muhammad Fadhil sekarang menjadi Ahmad Dha’il.

Dan satu lagi perpindahan yang harus gue ciptakan, perpindahan dari maksiat jadi taubat, dari cowok bangsat menjadi cowok taat. Semoga aja, ameen.