Laman

Senin, 11 Januari 2016

Belajar dari rasa sakit (Patah Hati)

Hidup ini penuh dengan kesakitan, setuju ? Ya’ kalo enggak setuju gue juga enggak maksa, tulisan ini tetep bakal gue lanjutkan juga sih. Banyak kesakitan-kesakitan yang selalu hadir di kehidupan kita, misalkan sikut kejedot lalu berasa kayak kesetrum, serpihan kayu masuk ke dalam kuku lalu kalau dicabut sakitnya bukan main, kalo pas dicabut terus masih ada yang kesisa susah banget buat ngambilnya, sakit pula, jari kelingking kaki ketendang meja, biasanya gue langsung guling-guling dan jerit-jerit kayak ibu-ibu melahirkan saat mengalaminya, dan banyak lagi kesakitan-kesakitan yang lainnya. Kali ini gue bakal membahas rasa sakit yang gue alami, yang terjadi dari berbagai macam hal.

Rasa sakit yang cukup gila menurut gue adalah saat disunat. Saat orang tua gue bilang kalau disunat itu rasanya kayak digigit semut dan bodohnya gue percaya perkataan mereka, ya’ gue pun mau-mau aja disunat, gue enggak disunat di rumah sakit, gue sunat  dengan cara tradisional, gue enggak mau menceritakan prosesnya seperti apa, karena gue enggak mau bikin para pembaca jadi muntah gara-gara harus baca cerita tentang titit gue, gue cuman nyeritain betapa sakitnya disunat. Rasa sakit disunat itu bikin gue kayak orang kesurupan, saat itu gue masih kecil banget, dan pembendaharaan kata-kata kotor gue enggak banyak, tapi ketika disunat dan merasakan sakitnya disunat, gue teriak sejadi-jadinya, dan isi teriakan gue semuanya kata-kata kotor yang enggak banyak diketahui oleh anak-anak seumur gue pada saat itu, gue nangis jerit-jerit sekencang-kencangnya, tapi percuma, rasa sakit itu tetap ada. Kelar proses sunatan, gue lega, gue merasa seperti terlahir kembali, oksigen rasanya jadi lebih segar saat sebelum gue disunat, tapi ternyata kelegaan gue enggak berlangsung lama, masih ada proses selanjutnya yang KAMPRET ! SAKIT PARAH! Pelepasan perban bekas sunatan gue, jadi biasanya sesudah sunatan yang disunat ini mesti berendam di air biar perban atau jahitan (kalau dijahit) bisa lepas, tapi beda halnya dengan gue, setelah berendam berhari-hari  tapi  cuman lepas dikit aja, sampai pada akhirnya nyokap memutuskan mendatangkan tante gue yang juga seorang perawat untuk melepaskan perban yang melingkar di titit gue ini. Saat akan memulai proses pencabutan perban, gue rada deg-degan, pikir gue “ah cuman lepas perban”, tapi kalimat itu gue tarik kembali saat perlahan perban di titit gue dilepaskan oleh tante gue, SAKITNYA bikin teriakan gue dari lantai 2 rumah bisa kedengeran sampai perut bumi, sakit parah, dan reaksi gue saat itu menurut gue enggak berlebihan gitu, bukan karena guenya cengeng atau enggak kuat nahan sakit, enggak ! Soalnya gue pernah liat bokap masang koyo di betisnya yang berbulu itu, dan saat ngelepasnya gue liat dengan mata kepala gue ada air mata yang netes dari mata bokap, karena sakitnya nyabut koyo dan bulu-bulu di betisny harus ikut kecabut, orang dewasa loh nangis, lah gimana gue yang saat itu masih kecil, dan yang gue hadapin lebih dari nyabut koyo dari betis yang berbulu, nyabut perban yang lengket dari titit yang luka, oh my God, cewek enggak akan pernah ngerti gimana sakitnya. Tapi dari sakitnya sunatan ini gue belajar satu hal “untuk menjadi BESAR, sakit itu WAJAR”.

Enggak cuman dari sunatan rasa sakit yang terjadi dalam hidup gue, gue pernah terjun bebas dari lantai 2 sekolah SD gue yang tingginya kira-kira 10 meteran mungkin, gue masih ingat hari itu adalah hari pertama gue duduk di kelas 2 SD, saat itu ada pembangunan kelas baru 2 tingkat di dekat kelas gue, saat itu masih pagi, dan bel sekolah belum berbunyi, gue main kejar-kejaran sama 1 temen gue, lari-larian kayak anak kecil pada umumnya, sampai gue lari ke bangunan belum jadi itu, gue dan temen gue lari-larian sampai menaiki tangga menuju lantai 2, dan setelah sampai di atas kami terhenti gara-gara enggak nyadar udah lari-larian sampai ke atas gedung sekolah, karena rasa penasaran kami berjalan menuju pinggiran bangunan gedung, kami berjalan perlahan karena saat itu enggak ada pagar yang menutupi pinggiran gedung, jadi kalau salah langkah dikit aja bisa jatuh ke bawah, saat itu gue liat ember yang tergantung di katrol untuk mengangkut semen dari bawah ke atas, gue mencoba meraih ember itu biar bisa main-main , saat gue mencoba meraihnya, badan gue mulai enggak seimbang, dan gue jatuh, saat masih di udara dalam keadaan setengah sadar dan enggak mikirin apa-apa gue denger teriakan dari banyak orang, dan gubrak ! Badan gue terhempas di gundukan pasir, dengan posisi kepala terlebih dahulu, badan gue terhempas dengan keras, rasanya kayak gue lagi tanding smack down sama Hulk, gue terbaring lemah, Hulk naik ring lalu melompat menindihi tubuh gue. Saat itu gue udah menyentuh daratan dengan keadaan setengah sadar, keributan dari orang-orang yang menggerumbungi gue menyadarkan gue, gue bisa rasakan tubuh gue penuh dengan pasir sampai masuk ke dalam mulut, lalu ada ibu-ibu ngasih gue minum biar gue enggak shock, gue enggak ingat kejadian selanjutnya seperti apa, karena kesadaran gue saat itu benar-benar kacau, gue shock berat. Sampai satu tahun kejadian itu berlalu, saat gue kelas 3 SD gue tinggal di rumah kakek nenek gue, suatu pagi gue terbangun karena gue kedinginan hebat, seluruh badan gue kejang-kejang, terutama tangan gue yang kejangg parah, satu rumah panik, dan lebih panik lagi karena saat itu gue enggak bisa disentuh, setiap ada yang nyentuh gue gue teriak karena kesakitan, saat itu tangan gue sakit banget saat mau megang atau meraba sesuatu, gue enggak bisa merasakan kaki gue, tapi saat gue berdiri rasanya kayak berdiri di atas benda-benda tajam, rasanya setiap langkah kaki gue tersayat-sayat. Enggak pakai lama gue langsung dilarikan di rumah sakit, sesampainya di UGD gue membuat para suster sedikit kebingungan karena mereka bingung gimana mau meriksa penyakit gue, sedangkan gue kesakitan kalau dipegang, sampai pada akhirnya gue disuruh buat cek darah, dan saat itu gue takut disuntik, jadi ketika perawatnya datang bawa suntikan dan berjalan mengarah ke arah gue yang saat itu tidak berdaya, melihat suntikan di tangan suster memberi gue sebuah kekuatan yang maha dahsyat, di saat keadaan seperti itu mendadak gue lompat dari ranjang rumah sakit dan KABUR ! Gue lari sekenceng-kencengnya entah dengan kekuatan apa gue bisa berlari itu, padahal beberapa menit sebelumnya gue enggak bisa merasakan kaki gue, dan enggak sanggup buat berdiri. Saat itu gue sembunyi di sebuah tempat di pinggir sungai tempat biasa gue main-main air bareng bokap, saat itu semua keluarga pada nyari gue, dan saat gue bersembunyi gue kayak orang sakau, kejang, kedinginan, keringetan, dan kembali enggak bisa merasakan kaki gue, telapak tangan gue kembali sakit saat dipegang, setelah lama bersembunyi pada akhirnya bokap lah yang menemukan keberadaan gue, gue langsung dibawa ke rumah sakit lagi untuk dicek darahnya, dan ternyata gue mengalami pendarahan di kepala gara-gara kejadian satu tahun lalu, dan efeknya baru muncul satu tahun kemudian, dari sini gue belajar “rasa takut akan mengalahkan rasa sakit, bahkan membuat rasa sakit menjadi enggak kerasa lagi, yang ada hanya takut, takut akan rasa sakit.”

Tapi di antara semua kesakitan yang pernah gue rasakan di hidup gue, enggak ada sakit yang seunik patah hati, karena sakitnya patah hati itu hadir tanpa luka, tanpa darah, tanpa harus jatuh dari tempat yang tinggi, tanpa harus dihantam oleh sesuatu yang keras, tanpa ada jarum yang harus ditancapkan ditubuh kita, dan tanpa terduga. Patah hati pertama gue terjadi di usia sangat belia, saat gue kelas 1 SMP, saat itu umur gue mungkin baru 13 atau 14 tahunan aja, terlalu muda untuk patah hati, intinya gue patah hati gara-gara diputusin cewek gue saat itu. Harus gue akui disunat, jatuh dari gedung, disuntik  hal-hal seperti itu lebih sakit daripada patah hati, tapi kenapa patah hati terkesan mengalahkan rasa sakit apapun ? Sebab patah hati selalu diiringi dua hal, “kesedihan dan kehilangan”.

 Saat lo sakit parah lo masih bisa senang dengan orang-orang yang menjenguk lo mungkin, atau apapun itu, tapi kalo udah patah hati enggak mungkin bisa senang bukan ?. Kehilangan, patah hati juga selalu diiringi dengan kehilangan, kalo lo lagi sakit, separah apapun itu lo masih bisa lihat orang-orang yang lo sayang di sekeliling lo, tapi saat patah hati itu artinya lo kehilangan seseorang yang lo sayang, dan itu yang membuat patah hati terkesan sakit yang benar-benar sakit. Tapi dari patah hati gue belajar banyak, gue bisa nulis gara-gara sebuah luka yang terjadi karena patah hati, gue lebih bisa memahami cewek, gue lebih bisa mengerti cinta, terlebih-lebih saat tahun lalu gue beli bukunya Raditya Dika yang berjudul “Koala Kumal” di bab terakhirnya yang berjudul sama dengan nama bukunya, menceritakan tentang pengalaman patah hatinya Radit, begini ceritanya gue kutip dari bukunya :

MENJELANG buku ini selesai ditulis, gue pun mulai mencari judul yang pas. Seperti biasanya, gue berkonsultasi dengan menelepon Mbak Windy Ariestanty, editor buku ini.

Gue bertanya ‘Apa ya, Mbak, judul yang pas untuk buku baruku?’
Mbak Windy bilang, ‘entar aja ya, akhir bulan aku bantu mikir. Sekarang aku mau ke Afrika, mau jalan-jalan. Emang bab apa yang paling kamu ingat sewaktu nulis buku itu ?’

‘Ada, soal patah hati yang terhebat,’ kata gue.

‘Cari judul yang ada hubungannya sama itu aja,’ kata Mbak Windy. Gue setuju, namun judulnya masih belum terbayang.
Proses penulisan buku ini pun berlanjut. Seperti biasanya sebelum menulis buku baru, gue temui dulu orang yang akan gue tulis dalam buku ini, untuk meminta izin ditulis. Di antara orang-orang lain, gue juga menemui salah satu mantan pacar yang gue tulis di salah satu bab dalam buku ini. Kebetulan kami saling follow Twitter satu sama lain, gue mengirimkan direct message kepadanya.

‘Apa kabar ?’ tanya gue

‘Baik’, katanya. ‘Nomor kamu ganti ?’

‘Iya’, kata gue.

Lalu gue memberitahukan nomor gue yang baru.
Kami pun mulai Whatsapp-an, dia cerita bahwa pacarnya sekarang ternyata tidak cocok dengan dirinya. Dia cerita bagaimana mereka pernah berantem hebat di tempat umum. Pacarnya ini adalah selingkuhannya dulu, ketika kami masih pacaran.Enggak, gue tidak menyimpan dendam sama mantan gue ini. Beberapa luka bisa sembuh dengan baik seiring berjalannya waktu.

Beberapa hari kemudian mantan gue ini mengajak ketemuan di Toscana, Kemang. Ketika dinner, mantan pacar gue baru mengaku kalau cowoknya gak tahu tentang pertemuan kami. Dia bilang ‘Aku kayaknya salah deh, jadian sama dia.’

‘Maksud kamu?’

‘Aku nyesel’, katanya.

‘Maksudnya nyesel ?’

‘Enggak, enggak apa-apa,’ kata dia, tidak melanjutkan.Gue tahu apa yang sebenarnya dia maksud, tapi gue juga enggan meneruskan. Kami lalu membayar bill, membaginya dua.

‘Jadi gimana ?’Boleh, ya, aku tulis cerita kita di buku ?,’ tanya gue pada saat kami hendak berpisah di depan restoran.

‘Asal namaku disamarin kamu boleh nulis apa aja tentang aku,’ katanya.

Anehnya, setelah pertemuan itu, gue makin akrab dengan mantan gue.Dia sering menelepon gue ketika gue sedang bekerja. Dia jadi sering membalas mention gue di Twitter. Dia jadi sering konsultasi masalah apapun yang sedang dia hadapi dengan gue saat itu. Puncaknya, dia mengajak gue makan malam lagi. Dia bilang ‘kali ini aku yang bayar’.

Kami pun bertemu kembali.

Sama seperti sebelumnya, kami dinner. Di Toscana, kami duduk di meja yang sama, memesan makanan dan minuman yang sama. Dia pun bercerita betapa menyesalnya dia telah mutusin gue. Dia bercerita tetang bagaimana orang kadang melakukan kesalahan dan dia telah belajar dari situ. Dia lalu bilang,’Aku mau ninggalin pacarku buat kamu,’

‘Maksud kamu pacarmu yang dulunya selingkuhanmu dari aku ?Sekarang aku yang mau kamu jadiin selingkuhan kamu?’ tanya gue.

‘Kok, ngomongnya gitu, sih ?’

‘Ya, gimana,’ kata gue, pelan.

Aku udah belajar banyak,’ katanya pelan.

Gue memandangi dia, dalam.

Lucu juga bagaimana nasib bisa bergulir seperti ini. Menulis buku ini mengantarkan guekepada pertemuan saat ini. Kami, berhadap-hadapan. Dua orang yang dulu pernah pacaran, tapi gue nerasa justru berhadapan dengan orang asing, orang yang gue sudah tidak kenal lagi. Obrolan kami, kok, terasa beda. Rasa yang gue dapatkan dengan berduaan bersamanya sekarang pun terasa berbeda.

Gue jadi teringat satu foto di situs Huffington Post. Ceritanya begini, ada seekor koala yang tinggal di New South Wales, Australia. Koala itu berimigrasi dari hutan tempat tinggalnya. Beberapa bulan kemudian, ia kembali ke hutan tempat dia tinggal. Namun, ternyata selama dia pergi, hutan yang pernah menjadi rumahnya ditebang, diratakan dengan tanah oleh para penebang liar. Si Koala kebingungan kenapa tempat tinggalnya tidak seperti dulu. Ia hanya bisa diam, tanpa bisa berbuat apapun. Seorang relawan alam mengambil foto itu. Jadilah foto seekor koala kumal duduk sendirian. Memandangi sesuatu yang dulu sangat diakrabinya dan sekarang tidak lagi dikenalinya.

Sama seperti gue melihat dia sekarang. Patah hati yang gue alami akibat apa yang dulu dia lakukan membuat dia berbeda di mata gue. Gue dulu jatuh cinta pada seorang perempuan cantik, baik dan bisa gue percaya. Namun, setelah semua yang terjadi, dia berubah menjadi orang lain. Gue merasa asing.

‘Kamu dengerin aku gak, sih?’ tanya dia, lagi.

Gue memandanginya, pikiran gue masih berjalan sendirian. Di saat ini gue menyadari, gue tidak mau seperti seekor koala kumal yang pulang ke tempat yang dulu nyaman untuknya, menyadari tempat itu telah berubah, tetapi tidak bisa berbuat apa-apa.

‘Ya, apa kamu bilang tadi ?’

‘Aku sekarang udah beda,’ kata dia.

‘Aku juga udah beda,’ kata gue. Lalu gue melanjutkan ‘Dan aku yang sekarang, enggak mau dengan kamu yang sekarang.’

Dia hanya diam saja. Gue juga hanya diam saja. Malam itu, menjadi malam yang terpanjang dalam hidup kami.

Sepulangnya dari restoran, dengan muka kusut gue membuka pintu. Nyokap masih asyik menonton sinetron favoritnya. Gue duduk di sofa, di sebelahnya. Nyokap bertanya,’Kamu kenapa ?’

‘Enggak, abis ketemu dia, Ma,’ kata gue, menyebutkan nama mantan gue itu.
‘Oh,apa kabar dia ?’

‘Baik sih,’ kata gue dengan tidak acuh.
Nyokap melihat ke mata gue, naluri seorang ibu nampaknya membuat dia tahu apa yang bikin gue bersikap beda malam itu. Nyokap lalu bertanya, ‘Dik, kamu tahu ga istilah Mama untuk orang yang sudah pernah merasakan patah hati ?’

‘Apa, Ma ?’

Nyokap menatap mata gue, lalu bilang,’Dewasa.’

Nyokap beranjak ke kamar, meninggalkan gue sendirian. Ada detak jam yang terdengar sayup, ada senyum kecil yang mengembang di bibir. Ada sesuatu yang selesai.

Ya’ itu tadi tulisan dari Radit yang gue kutip dari bukunya “Koala Kumal”, beda banget ya’ tulisan penulis berbakat sama penulis amatiran kayak gue. Dan perkataan dari nyokapnya Radit begitu mengena di hati gue, dan membuat gue dapat belajar dari sakitnya patah hati, bukan cuman diiringi kesedihan dan kehilangan, tapi juga kedewasaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar