Laman

Senin, 18 Januari 2016

Saya terima nikahnya...

Ternyata cinta enggak sesederhana yang gue kira. Gue enggak ngerti, entah arti cinta yang berubah, atau gue yang berubah. Mungkin karena umur gue yang udah bertambah, atau karena gue enggak bisa mengontrol nafsu gue yang menggebu-gebu layaknya remaja yang baru tumbuh beranjak dewasa. Enggak tau kenapa di usia gue yang tergolong muda ini, gue terbebani oleh pikiran untuk NIKAH ! Ya’ menikah. Beberapa minggu ini otak gue dihantui oleh bayangan pernikahan, bahkan mulut gue selalu mengucapkan akad nikah di setiap kesempatan “saya terima nikahnya dengan mahar tersebut tunai” (dalam bahasa Arab) enggak bosan lidah gue mengucapkannya, seolah-olah gue adalah mempelai pria yang sudah siap untuk menghadap penghulu, gue mikirin pekerjaan apa yang cocok buat gue, bisnis, jadi karyawan atau  menjual jasa, hal-hal itu memenuhi benak gue, sebuah beban yang tak seharusnya dipikul oleh remaja seumuran gue.

Gue enggak tahu apa yang merasuki gue, apakah cinta gue kepada pacar gue terlalu besar, atau nafsu gue yang terlalu besar. Hari minggu kemarin satu hari penuh gue galau mau ngomong ke orang tua gue kalau gue pingin nikah, gue pikir gue udah gila memikirkan hal semacam itu, gue sekolah baru 2 Ulya (setara SMA) , dan di otak gue udah terbesit hasrat pingin nikah, fix gue anggap gue gila ! Mapan memang tidak termasuk syarat menikah, tapi gue enggak mau membiarkan pasangan gue hidup blangsak sekalipun dia mau hidup susah bareng gue, gue sebagai laki-laki merasa berdosa membiarkan pasangan gue hidup susah, memang hidup enggak selalu menyenangkan, tapi kalau susah terus-terusan kan kasian.

Gue enggak bisa membiarkan pikiran-pikiran ini membebani gue, karena belum bahkan bukan saatnya untuk gue memikirkan hal-hal semacam itu. Pada akhirnya untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, misalkan gue berhenti sekolah, atau hal-hal buruk lainnya, gue putuskan untuk mengakhiri hubungan gue dengan pacar gue, agar gue bisa fokus dengan apa yang ada di hadapan gue, bukan apa yang jauh di depan gue.

Sakit mengingat betapa gue menyayangi dia tapi mau enggak mau gue harus melepaskannya, demi kebaikan gue. Tindakkan gue memang terlihat sangat egois, tapi di sisi lain, apa yang gue lakukan ini enggak semata-mata hanya untuk kepentingan gue pribadi, tapi juga kepentingan dia, di umur kami yang masih sangat muda, ada banyak kesempatan untuk meraih hal yang lebih baik, dan gue enggak mau kesempatan itu hilang karena kegegabahan dan keputusan-keputusan bodoh dari gue yang masih sangat labil.

Siapapun pasti bakal sakit hati diputusin sama pacarnya, gue bisa maklum kalau pacar gue sakit hati karena putus sama gue, dan gue merasa sangat bersalah sudah membuatnya jatuh cinta lalu meninggalkannya karena kebodohan gue. Rasa bersalah itu seperti hukuman buat gue, atas apa yang sudah gue perbuat, yaitu membuat dia terluka. Kadang cinta memang harus penuh dengan luka, dan dari luka itu tanda bahwa cinta itu memang benar-benar ada. Sayangnya dia enggak mengerti seperti apa kondisi gue, yang frustasi memikirkan hubungan ini untuk mengarah ke jenjang yang lebih serius, yang seharusnya gue enggak perlu memikirkan hal itu di umur gue yang sekarang, itu yang enggak bisa dia lihat, yang dia lihat hanya seorang cowok brengsek yang udah mutusin dia, membuat dia terluka, dan cowok itu yang salah, cowok memang selalu salah. Harusnya dia sadar betapa sayangnya gue ke dia sampai-sampai gue memikirkan hal yang enggak seharusnya gue pikirkan, yaitu masa depan gue bersama dia, sayangnya dia enggak ngerti dan enggak akan mengerti, gue akan tetap menjadi orang yang bersalah, gue emang salah, dan selalu begitu, orang enggak pernah bisa memandang sisi baik gue, bahkan dia yang katanya sayang sama gue enggak bisa melihat itu, enggak bisa melihat betapa terpuruknya gue hanya karena memikirkan dia, betapa sengsaranya gue ketika melihat dia bahagia bersama orang lain, betapa menderitanya gue ketika harus melepaskan dia, semua itu enggak akan terlihat, tertutup oleh luka yang gue torehkan di hatinya.

Dia cewek yang baik, bahkan mungkin yang terbaik yang pernah gue miliki, di matanya gue melihat ketulusan dan masa depan, di senyumnya gue melihat kedamaian surga, lembut genggaman tangannya membuat gue merasa ingin hidup sekali lagi. Mungkin terdengar berlebihan, tapi memang begitulah faktanya. Di saat 3 tahun luntang-lantung PDKT sama cewek, gue selalu dicuekin, diPHP, enggak dipedulikan, dia dengan kebaikkan hatinya menerima gue apa adanya, dia kayak oase yang hadir saat gue sudah lama berjalan dan tersesat di padang gurun yang tandus. Dia cewek yang tangguh, mampu bersabar menghadapi sikap gue yang kerap kali meledak-ledak. Dia menjadi alasan gue semangat dalam menulis, untuk menerbitkan sebuah buku, menjadi penulis, dan menjadi sukses, agar dapat membahagiakannya di saat yang tepat, saat gue yang bukan siapa-siapa menjadi seseorang yang membuat orang lain bangga, saat gue yang enggak punya apa-apa sudah punya sesuatu untuk menjalani pahit manisnya kehidupan, tak perlu mapan, asal cukup untuk mencukupi kebutuhannya, tapi sayangnya bukan saat ini. Bayi yang harus makan bubur enggak boleh makan nasi kalau belum waktunya, dan sekarang belum waktunya, mungkin nanti.

Untuk saat ini gue hanya sayang sama dia, move on ? Buat apa ? Gue enggak berusaha untuk melupakannya, karena udah lama gue enggak jatuh cinta, dan selama perasaan ini masih ada, gue enggak akan pindah ke lain hati, lalu kenapa gue pergi ? Karena gue pergi untuk kembali, kapan gue kembali ? Gue bukan orang yang suka dengan hal-hal yang enggak pasti, tapi gue enggak mau memastikan kapan gue kembali, sebab hidup penuh dengan misteri, gue enggak tahu kedepannya akan jadi seperti apa, tapi satu hal yang pasti, jika perasaan ini masih ada, gue pasti akan kembali, jodoh pasti bertemu bukan ? Iya’ PASTI !

Tidak ada komentar:

Posting Komentar